Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob dan Kloss) merupakan hama utama tanaman padi dari golongan mamalia (binatang menyusui), yang mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda dibandingkan jenis hama utama padi lainnya. Oleh karena itu dalam pengendalian hama tikus ini, perlu pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan cara penanganan hama padi dari kelompok serangga.
Tikus sawah dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman padi
mulai dari saat pesemaian padi hingga padi siap panen, dan bahkan menyerang
padi di dalam gudang penyimpanan. Kerusakan akibat tikus sawah di negara-negara
Asia mencapai 10–15% setiap tahun (Singleton, 2003), dan di Indonesia luas
serangan tikus sawah setiap tahun rata-rata mencapai lebih dari 100.000 ha
(Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2003). Kerugian akibat hama tikus jauh
lebih tinggi lagi dikarenakan kerusakan pada periode pesemaian dan stadium padi
vegetatif tidak termasuk kerugian yang dilaporkan.
Distribusi keberadaan tikus sawah sangat luas, karena dapat
beradaptasi dengan baik pada berbagai agroekosistem, baik lahan sawah irigasi,
lahan sawah tadah hujan/lahan kering, maupun lahan sawah rawa pasang surut.
Namun demikian keberadaan tikus sawah lebih dominan sebagai hama utama padi di
lahan sawah irigasi. Tikus sawah tergolong binatang pemakan dari berbagai jenis
tumbuhan dan hewan (omnivora), sehingga juga berperan sebagai hama pada tanaman
hortikultura, perkebunan dan hama gudang. Tikus sawah juga diketahui sebagai
vektor penyebab penyakit berbahaya pada manusia dan binatang ternak
(Begon, 2003).
Pengendalian hama tikus pada tanaman padi sampai saat ini
keberhasilannya masih belum konsisten, dan belum semua petani di berbagai
propinsi di Indonesia memahami cara pengendalian tikus yang benar. Beberapa
faktor penyebab kurang berhasilnya pengendalian tikus oleh petani antara lain:
(1) monitoring terhadap keberadaan hama tikus oleh petani masih kurang,
sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mengantisipasi pengendalian, (2).
pemahaman petani terhadap berbagai aspek sifat-sifat biologis hama tikus dan
teknologi pengendaliannya masih lemah, (3) kegiatan pengendalian belum
terorganisir dengan baik (masih sendiri-sendiri), dan tidak berkelanjutan, (4)
ketersediaan sarana pengendalian masih terbatas dan (5) masih banyak petani
yang mempunyai persepsi “mistis” terhadap tikus yang dapat menghambat
pelaksanaan pengendalian.
Berdasarkan hasil penelitian yang komprehensif oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, telah direkomendasikan alternatif-alternatif pendekatan pengendalian tikus sawah yang telah terbukti efektif yaitu pengendalian hama tikus terpadu (PHTT) (Sudarmaji, 2006). Pengendalian Hama Tikus Terpadu (PHTT) adalah pengendalian tikus yang didasarkan pada pemahaman ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan terkoordinasi dengan cakupan sasaran pengendalian berskala luas (hamparan atau desa).
Pengendalian tikus pada dasarnya
adalah upaya menekan tingkat populasi tikus menjadi serendah mungkin melalui
berbagai metode dan teknologi pengendalian, sehingga secara ekonomi keberadaan
tikus di lahan pertanian tidak merugikan secara nyata. Menjaga populasi tikus
sawah agar selalu berada pada tingkat populasi yang rendah adalah penting. Oleh
karena itu, perlu diupayakan langkah-langkah dan strategi pengendalian tikus
sawah dengan pendekatan PHTT. Berbagai komponen teknologi untuk pengendalian tikus
sawah yang telah ada sampai saat ini sebenarnya cukup efektif apabila
penerapannya telah sesuai dengan rekomendasinya. Ketepatan waktu pelaksanaan
pengendalian, habitat sasaran pengendalian, dan pemilihan jenis teknologi yang
dipakai, akan menentukan keberhasilan usaha pengendalian tikus sawah.
1. . Kerusakan oleh Tikus Sawah pada Tanaman Padi
Tikus sawah merupakan hama padi yang menimbulkan kerusakan
dan kerugian besar pada tanaman padi di negara-negara Asia pada umumnya,
termasuk Indonesia. Berdasarkan laporan Singleton (2003), kehilangan
hasil padi akibat tikus sawah di 11 negara Asia (Banglades, Kamboja, Cina,
India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Philippina, Thailand dan Vietnam)
diperkirakan mencapai 5–10%. Apabila dihitung kerugian sebesar 5% saja,
nilainya setara dengan 30 juta ton beras dan cukup untuk memberi makan 180 juta
orang selama 12 bulan.
Tingkat kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi di
Indonesia, bervariasi dari kerusakan ringan sampai terjadi puso atau gagal panen.
Rata-rata intensitas serangan tikus setiap tahun pada tanaman padi di Indonesia
selama sepuluh tahun (1989–1998) mencapai 19,3%, dengan luas serangan 90.837
ha. Sedangkan pada kurun waktu tahun 1998–2002 tercatat luas serangan mencapai
165.381 ha dan 7.699 ha diantaranya puso (Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan, 2003). Kerusakan akibat hama tikus pada tanaman padi tersebut, selalu
merupakan kerusakan terbesar dibanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh
hama utama padi lain, seperti wereng cokelat dan penggerek batang padi.
Distribusi kerusakan oleh tikus sawah pada tanaman padi,
terjadi di seluruh propinsi di Indonesia, dengan intensitas dan luas serangan
bervariasi. Sebagai contoh pada tahun 2002 serangan tikus paling berat terjadi
di Jawa Barat yaitu lebih dari 20.000 ha, disusul Jawa Tengah dan Sulawesi
Selatan masing-masing antara 10.000–20.000 ha, Jawa Timur, Lampung dan Sulawesi
Tenggara masing-masing antara 5.000–10.000 ha, serta propinsi lainnya
masing-masing kurang dari 5.000 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan,
2003).
Tikus sawah juga menyebabkan kerusakan pada berbagai
komoditas pertanian lain baik pada tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman
perkebunan, serta, tidak hanya di lahan sawah irigasi, tetapi juga di daerah
lahan kering dan lahan rawa pasang surut. Oleh sebab itu, jenis tikus sawah ini
dikenal sebagai hama lintas agroekosistem dan komoditas pertanian.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman
padi terjadi mulai dari pesemaian hingga padi menjelang panen. Rochman (1992),
mencatat pada pesemaian padi berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak
rata-rata 283 bibit padi dalam satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif)
merusak anakan padi rata-rata 79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang,
serta pada stadium padi bermalai 12 batang per malam. Tikus
sawah diketahui lebih suka menyerang tanaman
padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium
bunting akan mengalami kerusakan yang paling tinggi. Berdasarkan pengamatan
dari malai padi yang dipotong, ternyata hanya beberapa malai saja yang dimakan
(Rochman dan Toto, 1976). Kebutuhan pakan tikus setiap hari hanya seberat
kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan daya rusaknya terhadap malai
padi lima kali lebih besar dari bobot malai padi yang dikonsumsi.
Hasil penelitian Sudarmaji (2004), menunjukkan bahwa
intensitas kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sawah di lapangan
terbuka dan di dalam sawah berpagar (enclosure), menunjukkan intensitas
kerusakan yang berbeda diantara stadium padi. Intensitas kerusakan tertinggi
terjadi pada stadium padi bunting, baik di lapangan terbuka maupun di dalam
sawah berpagar.
Tingginya kerusakan yang terjadi pada stadium padi bunting,
berkaitan erat dengan adanya preferensi tikus terhadap pakan padi bunting.
Telah dibuktikan bahwa tanaman padi stadium bunting merupakan pakan yang paling
disukai tikus sawah dibandingkan dengan jenis pakan yang ada di habitat
hidupnya yaitu di ekosistem sawah irigasi (Tristiani et al., 1992;
Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Ketertarikan tikus sawah
terhadap padi bunting, telah digunakan sebagai dasar pengendalian tikus dengan
konsep Trap Barrier System (TBS) sebagai tanaman perangkap di ekosistem
sawah irigasi (Singleton et al., 1997; Sudarmaji dan Anggara, 2006;
Sudarmaji et al., 2007). Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (2004),
bahwa kerusakan yang disebabkan oleh enam pasang ekor tikus dan keturunannya
selama satu musim tanam padi mencapai 37,02%, yang nilainya setara dengan kehilangan
gabah tiga ton atau 15 juta rupiah dalam satu ha sawah. Perhitungan tersebut
dengan asumsi bahwa hasil panen mencapai 8 ton/ha gabah kering panen dengan
harga jual Rp 5.000,- /kg.
2.
Ekologi Tikus Sawah
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi
Tikus termasuk golongan binatang mengerat atau Rodensia yang
merupakan kelompok terbesar dari kelas binatang Mamalia, karena memiliki jumlah
spesies terbesar (2.000 spesies) atau 40% dari 5.000 spesies binatang yang
termasuk kelas Mamalia (Aplin et al., 2003). Di Indonesia kurang lebih
terdapat 164 spesies tikus dan lebih dari 25 spesies tikus diantaranya
menyebabkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman, dan hanya 13 spesies tikus
yang merupakan hama di daerah pertanian. (Aplin et al., 2003). Menurut
Sudarmaji et al. (2005), spesies tikus yang termasuk jenis hama di
daerah pertanian di Indonesia berasal dari Genus Bandicota, Rattus dan
Mus. Diantara spesies tikus yang termasuk hama, tikus sawah (Rattus
argentiventer, Rob and Kloss) merupakan hama utama padi dan juga berperan
sebagai vektor penyebab penyakit pada manusia dan hewan ternak. Di daerah
ekosistem sawah irigasi di Karawang Jawa Barat, Sudarmaji et al,. (2005)
mendapatkan tiga spesies tikus yaitu tikus sawah (Rattus argentiventer),
tikus rumah (Rattus rattus diardii) dan tikus wirok (Bandicota
indica). Pada daerah tersebut spesies tikus sawah lebih dominan dibanding
spesies lainnya yang mencapai 98,6%.
Pada tahun 1916, Robinson dan Kloss memberi nama pertama
kali Taxon argentiventer berdasarkan seekor tikus dewasa yang ditemukan
di Pasir Ganting daerah pantai Sumatra Barat. Selama kurun waktu 1916–1945,
telah tujuh nama diajukan dalam literatur mammalogi untuk spesies yang sekarang
dikenal sebagai Rattus argentiventer, yaitu: argentiventer untuk
tikus yang berasal dari Sumatra; brevicaudatus yang berasal dari Jawa; bali
yang berasal dari pulau Bali; pesticulus untuk tikus yang berasal
dari Sulawesi; saturnus untuk yang berasal dari Sumba; chaseni
yang berasal dari Malaya; dan umbriventer yang berasal dari Mindoro
Philippina (Musser, 1973).
Kedudukan tikus sawah dalam klasifikasi binatang
menurut Murakami et al. (1992) adalah sebagai berikut :
Filum
|
: Chordata
|
Subfilum
|
: Vertebrata
|
Kelas
|
: Mammalia
|
Ordo
|
: Rodentia
|
Famili
|
: Muridae
|
Genus
|
: Rattus
|
Spesies
|
: Rattus argentiventer (Robinson dan Kloss)
|
2.2 Perkembangbiakan tikus
Perkembangbiakan merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan laju peningkatan populasi tikus sawah. Perkembangbiakan tikus erat
kaitannya dengan kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia. Tikus bersifat
omnivora, meskipun demikian tanaman padi merupakan sumber utama pakan tikus
yang paling disukainya (Rahmini dan Sudarmaji, 1997). Hasil penelitian Rochman
dan Sudarmaji (1997), menunjukkan bahwa tanaman padi bunting apabila dikonsumsi
oleh tikus sawah, akan berpengaruh positif terhadap perkembangbiakannya. Pada
periode tersebut terjadi awal proses reproduksi tikus. Generasi yang dihasilkan
pada waktu padi stadium bunting merupakan pemicu dari penggandaan populasi dan
berlanjut hingga padi bermalai dan masa panen. Rochman dkk. (1982),
memaparkan bahwa di daerah dengan pola tanam padi 2 kali dalam 1 tahun akan
terdapat 2 kali periode perkembang-biakan tikus sawah. Di daerah dengan pola
tanam padi tidak serempak memperlihatkan pola perkembangbiakan tikus yang tidak
teratur. Tikus sawah akan berkembangbiak aktif sepanjang tahun apabila selalu
tersedia tanaman padi yang sedang menguning atau pada stadium generatif padi.
Pada umumnya jenis binatang pengerat dan seperti halnya
tikus sawah, mempunyai potensi perkembangbiakan cepat sehingga populasinya akan
berkembang dengan cepat pula. Tikus betina bunting selama 21 hari dan
menyusui anaknya selama 21 hari. Tikus mampu bunting dan menyusui dalam waktu
bersamaan dan tikus tersebut kawin lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan
(Meehan, 1984). Pada kondisi lingkungan yang baik, di dalam satu sarang dapat
dihuni induk betina yang sedang bunting bersama dua generasi anak-anaknya
(Sudarmaji dkk., 2007). Tikus sawah dapat berkembangbiak apabila telah mencapai
kematangan seksual. Kematangan seksual tikus betina relatif lebih cepat yaitu
pada umur 28 hari, yang ditandai dengan membukanya vagina (estrus) dan
kebuntingan dapat terjadi pada umur 40 hari. Kematangan seksual tikus
jantan lebih lambat yaitu setelah berumur 60 hari. Sudarmaji dan Rahmini
(1997), mendapatkan tikus betina bunting berumur 45 hari dan tidak mendapatkan
tikus betina bunting dari sampel tikus yang diambil dari lapangan yang berumur
lebih dari 12 bulan.
Jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk tikus betina
bervariasi pada setiap periode kebuntingan. Terdapat kecenderungan menurunnya
jumlah embrio setelah periode kebuntingan pertama. Jumlah embrio tertinggi
dihasilkan oleh induk betina yang bunting pada periode stadium awal padi
bunting sampai pengisian malai (bunting pertama) dengan rata-rata jumlah embrio
12,83±0,8 embrio, pada kebuntingan kedua (padi matang) 11,49±1,1 embrio, dan pada
kebuntingan ketiga (panen/bera awal) 7,80±1,0 embrio (Sudarmaji dkk.,
2007).
Tersedianya pakan padi yang cukup dengan kualitas baik, pada
saat padi bunting dan awal pengisian malai, merupakan faktor yang diduga kuat
berpengaruh terhadap jumlah embrio yang dihasilkan oleh induk betina. Selain
itu, diketahui bahwa tikus-tikus muda yang melahirkan pertama kali akan
menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan tikus betina yang berumur lebih
tua (Sudarmaji, 2004). Penurunan jumlah embrio juga disebabkan oleh terbatasnya
pakan yang berkualitas khususnya pada periode bera, dan tikus betina cenderung
merespon dengan mengurangi jumlah anaknya menjadi lebih sedikit agar dapat
bertahan hidup setelah dilahirkan. Tikus betina bunting dapat mengabsorbsi
sebagian embrio yang dikandungnya apabila kondisi lingkungan kurang menguntungkan.
Berdasarkan hasil penelitian dengan pengambilan sampel penggalian sarang tikus,
diketahui bahwa dari total 77 ekor induk betina yang melahirkan anak,
didapatkan anak-anak tikus sebanyak 785 ekor. Jumlah anak yang dilahirkan
bervariasi dari 4 ekor sampai 16 ekor per induk betina, dengan rata-rata 10,14±
4,5 ekor anak setiap melahirkan (Sudarmaji dkk., 2007).
Frekuensi tikus betina dalam melahirkan anak, dapat
diidentifikasi berdasarkan jumlah set plasenta scars. Plasenta scars
merupakan bekas luka tempat menempelnya embrio pada uterus tikus betina yang
tampak berupa bintik merah, hitam sampai kecokelatan. Berdasarkan hasil otopsi
terhadap 164 ekor tikus betina dewasa yang pernah melahirkan diketahui bahwa
proporsi populasi tikus betina di lapangan dengan satu set plasenta scar
atau melahirkan satu kali mencapai 54,27%, dua kali melahirkan 34,76%, tiga
kali melahirkan 10,36% dan empat kali melahirkan 0,60% (Sudarmaji dkk.,
2007). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa tikus sawah selama
hidupnya mempunyai potensi melahirkan anak sampai empat kali, namun demikian
kelahiran anak dari tikus-tikus yang berumur tua (lebih dari satu tahun) sangat
jarang terjadi.
Sudarmaji (2004) melaporkan, bahwa pada varietas padi unggul
baru dengan rata-rata umur padi mencapai 120 hari, perkawinan tikus
diperkirakan dimulai sejak padi stadium bertunas maksimum (maximum tillering).
Tikus sawah bunting selama 21 hari dan dapat kawin lagi 48 jam setelah melahirkan
(post-partum oestrous), sehingga selama satu musim tanaman padi dapat
terjadi tiga kali kelahiran. Berdasarkan kelahiran yang terjadi pada satu musim
tanam dan banyaknya anak yang dilahirkan, dapat dihitung jumlah individu yang
dihasilkan oleh satu ekor tikus betina. Tikus sawah menghasilkan anak rata-rata
10 ekor dalam satu kali kelahiran dengan nisbah kelamin sama. Dalam satu musim
tanam padi dapat terjadi tiga kali kelahiran dan dihasilkan 30 ekor tikus muda.
Apabila terjadi tanam padi tidak serempak sehingga terjadi keterlambatan panen
lebih dari dua minggu, atau terdapat ratun padi yang bermalai pada periode
sawah bera, maka tikus betina muda yang dilahirkan pertama kali oleh induknya
telah dapat melahirkan anak. Lima ekor tikus betina muda dari kelahiran pertama
tersebut akan melahirkan anak sebanyak 50 ekor, sehingga total jumlah anak yang
dapat dihasilkan dari satu ekor induk betina dalam satu musim tanam padi
diperkirakan mencapai 80 ekor .
Peneliti lain melaporkan bahwa dari satu ekor induk tikus
mampu menghasilkan keturunan 510 ekor selama 10 bulan dan akan menjadi 2.046
ekor dalam 13 bulan (Sama dan Rochman, 1988). Murakami et al., (1992),
mendapatkan sekurang-kurangnya jumlah anak tikus dari satu induk betina dalam
satu musim tanam mencapai 100 ekor dari dua sampai tiga kali kelahiran.
Habitat merupakan salah satu faktor lingkungan yang menjadi
daya dukung perkembangan populasi tikus sawah. Tersedianya habitat yang memadai
akan menguntungkan tikus untuk mendapatkan tempat hidup dan tempat
berkembangbiak dengan baik. Oleh karena itu, pemahaman habitat tikus sangat
diperlukan dalam upaya pengelolaan populasi tikus, khususnya pada lahan sawah
dengan pertanaman padi.
Tikus sawah termasuk binatang yang aktif pada malam hari
(nokturnal). Pada siang hari tikus berlindung di dalam sarang dengan
membuat liang di dalam tanah atau di semak-semak. Penelitian dengan
menggunakan pelacak gelombang radio (radio tracking) menunjukkan bahwa
pada malam hari tikus lebih banyak mengunjungi daerah pertanaman padi (60%)
dibandingkan berbagai jenis habitat lain yang ada disekitarnya. Pada
siang hari tikus lebih banyak berada di luar daerah pertanaman padi yaitu di
tanggul irigasi dan daerah-daerah dekat perkampungan (Sudarmaji dan Rahmini,
2002). Hadi dkk. (2006) melaporkan, tikus sawah pada siang hari 82% tinggal di
daerah pematang dan sebaliknya pada malam hari 95% aktif di tengah pertanaman
tengah padi. Brown et al. (2001), juga melaporkan tidak terdapat
perbedaan nyata daya jelajah tikus sawah di habitatnya antara tikus jantan dan
betina. Rata-rata daya jelajah tikus jantan adalah 3,01 ha dan tikus betina
1,97 ha, sedangkan Tristiani et al. (2003) juga mendapatkan daya jelajah
tikus jantan lebih besar dari tikus betina dengan pergerakan tikus 63% berada
di daerah pertanaman padi selama musim tanam padi.
Tikus memilih sarang terutama pada habitat yang memberikan
perlindungan dan aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan
dan air. Sarang tikus berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara
anak dan untuk menimbun pakan. Sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok
tikus di dalam sarang, maka jaringan sarang akan semakin luas. Murakami et
al. (1992), melaporkan bahwa pada stadium padi vegetatif, konstruksi sarang
masih dangkal, pendek dan belum banyak cabang. Setelah pertumbuhan tanaman padi
mencapai stadium generatif, konstruksi sarang tikus menjadi lebih dalam,
panjang dan bercabang-cabang serta mempunyai pintu keluar lebih dari satu
pintu. Pada kondisi tersebut tikus mempersiapkan diri untuk melahirkan
anak-anaknya. Dilaporkan juga oleh Sudarmaji (1990), bahwa panjang dan volume
sarang tikus pada stadium padi generatif dua kali lebih panjang dan lebih besar
dibanding pada stadium padi vegetatif. Panjang sarang rata-rata empat meter dan
volumenya mencapai 10,3 liter. Hal tersebut karena tikus memerlukan sarang yang
lebih longgar dan nyaman untuk membesarkan anak-anaknya.
Tingkat hunian sarang tikus bervariasi tergantung kondisi
lingkungan dan tidak semua sarang dihuni oleh tikus (aktif). Pada periode
kekurangan pakan atau banjir sarang tikus akan ditinggalkan. Hal tersebut
terjadi pada saat sawah periode bera, periode pengolahan tanah dan periode
tanam. Pada periode tersebut tikus bermigrasi dan akan kembali setelah
pertanaman padi berumur dua bulan atau menjelang stadium padi generatif (Sudarmaji
dan Herawati, 2001). Rochman (1982), melaporkan bahwa pada pertanaman padi
berumur satu bulan, hanya 25% sarang yang dihuni.
Pada ekosistem padi sawah, berdasarkan laporan Sudarmaji dan
Rochman (1997), diperkirakan terdapat preferensi habitat spesifik tikus sawah.
Lam (1983), menemukan bahwa 97% tikus sawah khususnya dari jenis R.
argentiventer, membangun sarangnya pada pematang dengan ketinggian 15 cm
dan lebar 30 cm atau lebih. Sudarmaji dkk. (2007),
mengidentifikasi 5 jenis habitat tikus sawah di ekosistem sawah irigasi dan
didapatkan habitat tepi kampung dan tanggul irigasi merupakan habitat yang
paling banyak dihuni tikus sawah. Tangkapan tikus sawah paling tinggi berasal
dari habitat kampung (35,1%), tanggul irigasi (29,8%), jalan sawah (16,5%), dan
tangkapan tikus terendah berasal dari habitat parit sawah dan tengah sawah
masing masing-masing 9,6% dan 9,0% .
Habitat kampung merupakan habitat yang menjadi tujuan tikus
sawah migrasi pada periode bera, untuk mendapatkan pakan alternatif dan tempat berlindung
sementara. Oleh karena itu, tangkapan tikus pada habitat kampung selama periode
bera selalu paling tinggi dibandingkan tangkapan pada habitat lain. Tikus sawah
di habitat kampung pada umumnya tidak membuat sarang, tetapi berlindung dalam
tumpukan jerami atau kayu, kandang ternak dan bahkan rumah penduduk. Sudarmaji
dan Herawati (2001), mendapatkan tangkapan tikus yang tinggi pada habitat
kampung, tetapi tidak menemukan sarang aktif tikus di habitat tersebut.
Keberadaan tikus sawah di habitat kampung pada periode bera, diperkirakan akan
mendapat ancaman cukup besar dari pemangsa jenis kucing dan predator lain.
Populasi tikus yang dapat bertahan hidup dan kembali ke daerah persawahan lagi
diperkirakan jumlahnya akan berkurang.
Tanggul irigasi di ekosistem sawah irigasi merupakan habitat
penting tikus sawah dan merupakan habitat utama untuk berkembangbiak (Sudarmaji
dkk., 2007). Habitat tanggul irigasi dipilih tikus sawah karena apabila
terjadi banjir, sarang pada tanggul tersebut tidak terendam air. Pada umumnya
tanggul irigasi dibangun dari tanah berukuran lebar 1–2 meter dengan tinggi
lebih dari satu meter. Di daerah habitat tanggul irigasi maupun kampung pada
umumnya masih tersedia sumber air dan pakan tikus alternatif ketika sawah dalam
keadaan bera, sehingga habitat tersebut disebut sebagai habitat perlindungan
tikus.
2.3 Habitat
Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya,
yaitu berat badan tikus dewasa antara 100–230 g, panjang kepala-badan antara
70–208 mm, panjang tungkai belakang 32–39 mm dan panjang telinga 20–22
mm. Ekor biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal
berwarna cokelat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi
kesan seperti berwarna abu-abu. Daerah tenggorokan, abdominal dan inguinal
berwarna putih, dan sisa bagian bawah lainnya putih keperakan atau putih
keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan warna badan dan banyak yang
berwarna cokelat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor berwarna gelap pada
bagian atas dan bawah (Murakami et al., 1992 ; Aplin et al.,
2003).
Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah duabelas buah.
Ukuran dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang
mencolok. Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan
testisnya. Anak tikus yang baru dilahirkan berwarna merah, tidak berambut dan
belum dapat melihat (Meehan, 1984). Anak tikus yang berumur 7–10 hari, rambut
akan tumbuh lengkap dan matanya mulai terbuka sehingga dapat melihat. Pada umur
tersebut anak tikus masih disusui oleh induknya di dalam sarang yang berada di
dalam tanah. Anak tikus setelah berumur 20 hari, akan disapih oleh induknya
untuk hidup mandiri. Apabila kondisi lingkungan cukup baik seperti pakan yang
berlimpah, maka anak tikus akan tinggal di dalam sarang bersama induknya lebih
lama. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5–9
minggu.
2.4 Dinamika Populasi
Mempelajari dinamika populasi terutama bertujuan mempelajari
perubahan ukuran kerapatan populasi pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta
menjelaskan mekanisme yang mendasari perubahan tersebut (Richards, 1982). Di
dalam populasi juga terdapat faktor-faktor yang saling mempengaruhi baik faktor
internal maupun eksternal, yang berpengaruh terhadap tingkat kerapatan populasi
dari waktu ke waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kerapatan
populasi di alam antara lain peningkatan karena adanya kelahiran (natalitas),
peningkatan karena masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain
(imigrasi), penurunan karena kematian (natalitas), dan penurunan karena
keluarnya beberapa individu dari populasi ke populasi lain (emigrasi) (Krebs,
1995). Faktor pakan, tempat berlindung, musuh alami dan kompetisi berpengaruh
terhadap ke empat faktor utama penyebab perubahan populasi tersebut.
Tikus sawah, seperti binatang hama pada umumnya memiliki
tipe strategi r (r-strategist), yaitu mereka dapat berkembangbiak dalam
waktu singkat sehingga akan terjadi peningkatan populasi yang sangat pesat atau
sering disebut dengan ledakan populasi. Hal tersebut dapat terjadi apabila
kondisi lingkungan yang memungkinkan seperti tersedianya pakan yang melimpah,
terdapat tempat berlindung dan bersarang yang memadai (Macdonald and Fenn,
1994). Setelah terbentuk populasi dengan tingkat kerapatan yang tinggi,
selanjutnya terjadi berkurangnya persediaan pakan, tempat perlindungan, dan
kompetisi, sehingga populasi tikus akan turun kembali secara alamiah.
Pada daerah agroekosistem sawah irigasi terdapat
kecenderungan bahwa populasi tikus dan tingkat kerusakan tanaman padi di
Indonesia pada musim kemarau (MK) lebih tinggi dibanding pada musim hujan
(MH). Periode bera MH yang pendek yaitu kurang dari dua bulan, memberi
peluang masih cukup tersedianya pakan alternatif di lapangan, dan berpengaruh
positif terhadap tingkat hidup tikus sawah. Tikus yang dapat bertahan hidup
akan dapat berkembangbiak pada musim tanam MK berikutnya (Sudarmaji dan
Baehaki, 1994). Namun demikian di beberapa daerah, lama periode bera MH dan MK
hampir sama karena terkait dengan golongan pengairan sehingga populasi tikus
pada MK dan MH relatif tidak berbeda.
Berdasarkan pemantauan pada lahan sawah seluas 2 ha
diketahui bahwa pada saat kerapatan populasi rendah jumlah tikus hanya mencapai
5 ekor sampai 25 ekor/ha dan pada puncak kerapatan populasi dapat mencapai
250–900 ekor/ha. Peningkatan populasi tersebut terjadi sangat cepat dan untuk
mencapai puncak kerapatan populasi, hanya dibutuhkan waktu 1,5 hingga 2 bulan
(Tristiani dkk., 1992). Wood (1994) melaporkan bahwa, pada tanaman padi
di Indonesia puncak populasi tikus sawah terjadi pada satu sampai dua bulan
setelah panen dengan populasi lima ekor sampai 25 ekor/ha pada awal tanam,
meningkat menjadi lebih dari 700 ekor/ha pada saat panen.
Faktor utama penyebab peningkatan populasi tikus sawah
adalah tersedianya pakan padi, sehingga terjadi kelahiran tikus yang cepat
(tiga kali kelahiran) pada stadium padi generatif dan menyebabkan peningkatan
kerapatan populasi yang tinggi pada periode bera. Pakan padi stadium generatif
merupakan pakan tikus yang berkualitas tinggi dan berpengaruh nyata terhadap
peningkatan berat badan tikus. Tanpa adanya tanaman padi tikus sawah tidak
berkembangbiak dan terjadi kematian (Sudarmaji, 2004). Malai ratun padi
merupakan pakan alternatif penting bagi tikus sawah pada periode bera dan
memperpanjang periode perkembangbiakan.
Penurunan populasi tikus terjadi setelah periode bera bulan
kedua, karena migrasi tikus akibat hilangnya pakan padi (panen), terjadinya
gangguan habitat tikus karena proses budidaya padi, dan aktivitas pengendalian
tikus oleh petani. Curah hujan tidak menyebabkan turunnya populasi tikus sawah.
Peran pemangsa tikus relatif kecil dalam regulasi populasi tikus sawah di
ekosistem sawah irigasi, karena keberadaan jenis pemangsa tikus sangat jarang
ditemukan. Prevalensi infeksi cacing hati pada tikus sawah tinggi, tetapi tidak
menyebabkan kematian tikus sawah secara langsung (Sudarmaji, 2004).
3. Komponen Teknologi Pengendalian Tikus
Pengendalian tikus pada dasarnya adalah upaya menekan
tingkat populasi tikus pada tingkat serendah mungkin melalui berbagai cara dan
teknologi pengendalian. Teknologi pengendalian yang tersedia sampai saat ini
berasal dari hasil penelitian para pakar di bidang hama tikus, dan dari
kearifan lokal petani yang telah lama digunakan secara turun temurun. Teknologi
yang telah tersedia sampai saat ini sebenarnya telah dapat diandalkan dan
efektif untuk pengendalian tikus apabila diterapkan sesuai rekomendasi dengan
pelaksanaan secara benar.
Efektifitas hasil pengendalian tikus selain ditentukan oleh
pemilihan teknologi yang tepat, juga ditentukan oleh ketepatan dalam pemilihan
waktu pengendalian, sasaran habitat yang dikendalikan dan kekompakan petani
untuk melaksanakan pengendalian tikus secara bersama-sama. Beberapa komponen
teknologi pengendalian dan metoda pengendalian yang tersedia sampai saat ini
disajikan dalam tulisan ini.
3.1 Sanitasi Lingkungan dan Manipulasi Habitat
Sanitasi dan manipulasi habitat bertujuan untuk menjadikan
lingkungan sawah menjadi tidak menguntungkan bagi kehidupan dan
perkembangbiakan tikus. Kegiatan sanitasi antara lain melakukan pembersihan
tanaman perdu atau gulma yang berada di areal pertanaman padi dan sekitarnya,
seperti di daerah pematang sawah, tanggul saluran irigasi dan jalan sawah,
dengan tujuan agar tikus tidak bersarang di habitat tersebut. Tikus akan tidak
nyaman dan takut menghuni daerah yang bersih, terang dan terbuka karena akan
mudah dimangsa predator.
Tikus sawah pada umumnya menyukai habitat pematang sawah
atau tanggul irigasi yang tinggi dan lebar. Pematang sawah dianjurkan dibuat
rendah kira-kira tinggi kurang dari 30 cm, agar pematang tersebut tidak
digunakan tikus bersarang dan berkembangbiak (Lam, 1993). Sanitasi dan
manipulasi habitat akan menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan
sumber pakan alternatif terutama pada periode bera, sehingga secara tidak
langsung dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut (Sudarmaji, 2004).
3.2 Kultur Teknis
Pengelolaan budi daya tanaman padi dapat menunjang
pengendalian tikus apabila dilakukan usaha bersama diantara petani atau
kelompok tani dalam suatu hamparan luas atau sekurang-kurangnya tingkat desa.
Pengaturan pola tanam bertujuan untuk membatasi ketersedian pakan tikus yaitu
padi, guna membatasi perkembangbiakan tikus sawah di lapangan. Tikus sawah
hanya akan berkembangbiak pada saat terdapat stadium padi generatif. Pola tanam
padi-palawija atau bera setelah menanam padi akan dapat membatasi bahkan menghentikan
aktifitas reproduksi tikus sawah. Nutrisi dari tanaman palawija diperkirakan
kurang cocok bagi metabolisme tikus sawah untuk perkembangbiakannya
dibandingkan dengan nutrisi yang tersedia pada padi. Pada pola tanam padi dua
kali setahun diikuti masa bera panjang musim kemarau (padi-padi-bera) akan
menyebabkan tikus kehilangan sumber pakan pada periode bera dan akan terjadi
perpindahan tikus atau migrasi ke tempat lain atau mati karena kekurangan
pakan.
Pengaturan waktu tanam dilakukan dengan mengatur waktu tanam
dan varietas yang sama pada areal yang luas atau hamparan padi. Apabila
terpaksa varietas yang digunakan dalam satu hamparan tersebut berbeda,
diusahakan agar waktu stadium generatif padi dapat serempak, atau tidak lebih
dari dua minggu. Tujuan pengaturan waktu tanam adalah agar periode generatif
padi bersamaan waktunya. Apabila periode padi generatif berbeda waktunya, maka
tanaman padi yang bunting lebih awal akan mendapat serangan tikus paling berat
dan kemungkinan dapat terjadi puso (gagal panen). Pertanaman padi yang tidak serempak
akan menghasilkan periode padi generatif yang lebih panjang pada wilayah
tersebut, sehingga periode perkembangbiakan tikus sawah juga menjadi lebih
panjang. Hal tersebut dapat meningkatkan populasi tikus secara cepat. Oleh
karena itu penanaman padi secara serempak pada skala luas dapat membatasi
perkembangbiakan tikus dan mencegah konsentrasi serangan tikus pada tanaman
padi yang bunting lebih awal.
Penanaman padi dengan jarak tanam lebih longgar dari
biasanya bertujuan untuk membuat lingkungan yang lebih terbuka sehingga kurang
disukai tikus, seperti halnya cara tanam ‘legowo’. Tikus kurang menyukai tempat
yang bersih atau terang karena akan merasa terancam oleh musuh alaminya
terutama predator. Tipe serangan tikus yang selalu dimulai dari tengah petak
sawah dan menyisakan pada daerah dekat pematang adalah ciri khas perilaku tikus
yang tidak menyukai kondisi terang.
3.3 Pengendalian Secara Fisik
Pengendalian secara fisik yaitu mengubah lingkungan fisik
agar menyebabkan kematian tikus. Tikus mempunyai batas toleransi terhadap
beberapa faktor fisik seperti suhu, cahaya, air, dan suara. Tujuan pengendalian
dengan cara ini adalah mengubah faktor lingkungan fisik menjadi tidak sesuai
untuk kehidupan tikus sawah. Sedangkan pengendalian mekanis merupakan usaha
untuk membunuh tikus secara langsung oleh manusia. Cara pengendalian ini cukup
murah, mudah dan sederhana tetapi biasanya membutuhkan lebih banyak tenaga
kerja. Beberapa contoh kegiatan pengendalian secara fisik dengan menggunakan
berbagai peralatan adalah sebagai berikut:
3.3.1 Alat penyembur api (brender)
Alat tersebut bila digunakan dapat menyemburkan api dan
udara panas ke dalam sarang tikus. Suhu di dalam sarang tikus akan meningkat
sehingga dapat mengusir tikus dari dalam sarang atau bahkan membunuhnya.
Alat ini juga dapat dipakai untuk membakar belerang di mulut lubang sarang
tikus, sehingga hembusan asap belerang akan meracuni tikus dan menyebabkan
tikus mati di dalam sarang.
3.3.2 Penggunaan sinar lampu
Sinar lampu dapat digunakan sebagai alat untuk membantu
dalam kegiatan menangkap tikus pada malam hari. Sinar lampu dengan intensitas
tinggi yang mengenai mata tikus dapat menyebabkan tikus menjadi silau dan
berhenti beraktifitas sejenak. Pada kondisi tersebut, tikus dapat dengan mudah
untuk dipukul atau dibunuh. Petani biasanya menggunakan sinar lampu ini dari
obor minyak tanah, lampu petromak atau lampu senter untuk memburu tikus sawah
pada malam hari. Kegiatan ini dapat dilakukan karena tikus sawah termasuk
binatang yang aktif pada malam hari atau nokturnal.
3.3.3 Memompa air atau lumpur ke dalam sarang tikus
Cara tersebut dapat dilakukan untuk mengusir tikus keluar
dari sarang sehingga mudah untuk dibunuh atau tikus dapat mati di dalam sarang
karena terjebak lumpur. Cara tersebut dapat dilakukan pada habitat-habitat
utama tikus seperti tanggul irigasi, jalan sawah dan habitat lainnya. Waktu
yang paling tepat untuk pelaksanaan metode ini adalah pada periode bera dan
pengolahan tanah bersamaan dengan kegiatan gropyokan massal. Selain itu juga
tepat dilakukan pada saat periode padi generatif ketika tikus sawah sedang
beranak di dalam sarangnya.
3.3.4 Mengusir tikus dengan suara ultrasonik
Penggunaan suara ultrasonik pada frekuensi tertentu dapat
memekakkan telinga tikus, sehingga tikus menghindar ke tempat lain yang
lebih aman. Oleh karena itu fungsi penggunaan alat ini hanya untuk mengusir
tikus saja. Namun demikian alat yang ada (telah dikomersialkan) sampai saat ini
masih sangat terbatas jangkauan frekuensinya dan baru dapat digunakan di dalam
ruangan dengan ukuran tertentu. Untuk penggunaan di lapangan terbuka masih
belum tersedia peralatannya. Penggunaan alat tersebut pada umumnya dilakukan di
dalam gudang penyimpanan bahan pangan untuk mengusir hama tikus. Mengusir tikus
dengan bunyi-bunyian juga dapat dilakukan, tetapi jika suara itu telah menjadi
suara yang rutin, maka tikus sudah tidak merasa terganggu lagi.
3.3.5 Gropyokan massal (community actions)
Metode gropyokan massal merupakan salah satu cara
pengendalian tikus yang murah dan efektif yang biasa dilakukan oleh petani di
berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan secara
bersama-sama dengan cara membongkar sarang tikus pada habitat utama, memburu,
dan membunuh tikus yang ada. Di beberapa daerah hasil gropyokan tikus ini
setiap ekor ditukar dengan uang oleh pemerintah daerah, yang besarnya
bervariasi antara 500 rupiah hingga 2.500 rupiah per ekor, dan cara ini disebut
“bounty system” (Sudarmaji, 2004). Waktu kegiatan gropyokan massal yang
tepat adalah menjelang tanam (pengolahan tanah). Pada periode tersebut untuk
memburu tikus relatif lebih mudah karena tidak ada pertanaman padi yang dapat
digunakan tikus untuk bersembunyi. Penggalian sarang tikus menyebabkan
tikus keluar dari sarang sehingga dapat mudah ditangkap. Di beberapa
daerah untuk menangkap tikus dari hasil penggalian ini digunakan bantuan
anjing pemburu yang telah terlatih.
Kegiatan gropyokan ini apabila dilakukan secara massal, luas
dan berkelanjutan akan merupakan kunci utama untuk menurunkan populasi tikus
secara dini pada awal tanam, dan menentukan keberhasilan pengendalian tikus
dalam satu musim tanam padi dari serangan hama tikus sawah.
3.3.6 Pemerangkapan (trapping)
Beberapa jenis perangkap dapat digunakan untuk menangkap
tikus dalam keadaan hidup dan mati. Jenis perangkap dapat berupa multiple
live capture trap atau singgle trap dengan umpan pakan tikus di
dalamnya. Umpan dapat digunakan dari jenis biji-bijian dengan pemerangkapan
dilakukan pada periode bera dan stadium awal padi vegetatif. Sedangkan
pemerangkapan pada periode padi generatif, umpan yang digunakan dari bahan yang
mengandung protein tinggi seperti yuyu bakar atau jenis ikan kering lainnya.
Pemerangkapan ini biasanya hanya efektif apabila dilakukan pada kondisi lahan
sawah tidak banyak tersedia pakan tikus alternatif. Jenis perangkap tikus
lainnya adalah snap trap yaitu perangkap yang apabila mengenai sasaran
tikus, maka tikus akan terjepit dan mati ditempat. Perangkap model ini banyak
digunakan di lokasi perumahan untuk menangkap jenis tikus rumah.
3.3.7 Sistem bubu perangkap linier (linier trap barrier
system atau LTBS)
Alat ini pertama kali di gunakan pada tahun 1995 di Balai
Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Pada awalnya LTBS digunakan untuk menangkap
tikus sawah (trapping) untuk sampel tikus hidup guna keperluan
penelitian (Leung dan Sudarmaji, 1999), dan pada waktu itu tidak ada metode
lain yang efektif untuk menangkap tikus dalam keadaan hidup pada semua stadium
padi. Berdasarkan hasil pengujian, LTBS terbukti efektif dan mudah
digunakan untuk menangkap tikus sawah. Oleh karena itu, selanjutnya LTBS
direkomendasikan sebagai komponen teknologi utama untuk pengendalian tikus
sawah.
Linier trap barrier system
(LTBS) dirancang untuk menangkap tikus di daerah sarang/habitat tikus, ketika
melakukan pergerakan keluar sarang untuk beraktifitas pada malam hari. Linier
trap barrier system (LTBS) juga cocok untuk menangkap tikus yang sedang
migrasi (melakukan perpindahan secara massal). Alat ini dirancang mudah
dipasang dan dibongkar untuk dapat dipindah-pindahkan ke tempat lain yang
diperlukan LTBS; terdiri dari pagar plastik, bubu perangkap, penyangga ajir
bambu dan tanpa menggunakan tanaman perangkap atau umpan (Sudarmaji dan
Anggara, 2006).
Penggunaan LTBS untuk pengendalian tikus pada daerah dekat
habitat sebaiknya dipasang diantara pertanaman padi dan habitat, dimana tikus
akan menuju ke arah tanaman padi pada malam hari. Corong masuk bubu perangkap sebaiknya
diarahkan ke habitat atau sesuai arah datangnya tikus. Corong bubu juga dapat
diarahkan berseling apabila menginginkan tangkapan tikus dari kedua arah.
Pemasangan dapat dilakukan selama satu minggu atau sampai tidak ada tangkapan
tikus lagi, kemudian dibongkar dan dapat dipindahkan ketempat lain. Pengambilan
tangkapan tikus dilakukan setiap pagi hari. Alat ini juga dapat dipasang
untuk mengatasi migrasi tikus terutama pada daerah atau blok yang mempunyai
perbedaan waktu tanam atau panen dengan blok lainnya.
3.3.8 Sistem bubu perangkap (trap barrier system
atau TBS)
Sistem bubu perangkap (TBS) merupakan unit alat untuk
menangkap tikus, terdiri dari tiga komponen utama yaitu bubu perangkap tikus
yang berfungsi sebagai jebakan dan pengumpul tikus, pagar plastik berfungsi
mengarahkan tikus masuk ke dalam bubu perangkap, dan tanaman perangkap
berfungsi sebagai penarik (attractant) agar tikus bergerak ke lahan
penangkapan TBS (Sudarmaji dkk., 2007).
Berdasarkan hasil penelitian, ukuran petak tanaman perangkap
sangat menentukan tingkat wilayah tikus tertangkap (halo effect) terhadap
pertanaman disekitarnya. Makin besar ukuran petak tanaman perangkap makin besar
jumlah tangkapan tikus dan luas halo effect yang ditimbulkannya tetapi
juga memerlukan biaya lebih banyak (Singleton et al., 2003). Halo
effect adalah luasan pertanaman bebas tikus sebagai pengaruh TBS terhadap
perlindungan serangan tikus di sekelilingnya. Hal tersebut dapat terjadi karena
tikus disekitar TBS tertarik menuju tanaman perangkap dan terperangkap oleh
bubu perangkap. Akibatnya populasi tikus disekitar TBS rendah. Hasil penelitian
membuktikan bahwa unit TBS berukuran 50mx50m dapat melindungi tanaman
padi disekitarnya seluas 10–15 ha (Singleton et al., 2003). Hasil
tersebut juga diperkuat melalui hasil penelitian daya jelajah tikus yang
dipantau dengan “radio tracking” untuk melihat pergerakan tikus menuju
tanaman perangkap (Brown et al., 2001). Skema TBS disajikan dalam Gambar sebagai berikut.
Keunggulan teknologi TBS adalah efektif menangkap tikus
dalam jumlah besar dan terus-meneus di daerah endemis tikus serta dapat
digunakan sebagai indikator adanya migrasi tikus sawah. TBS dapat menghemat
tenaga karena hanya sekali memasang untuk sepanjang musim tanam dan ramah
lingkungan karena tanpa menggunakan umpan rodentisida. Singleton et al.
(2005), telah membuktikan keuntungan penggunaan TBS untuk pengendalian
tikus di Karawang, Jawa Barat dengan benefit-cost ratio 25:1. Teknologi
TBS merupakan teknologi sederhana yang mudah dipahami dan dapat dipraktekkan
oleh petani. Hasil penelitian Sudarmaji dan Anggara (2006), menunjukkan bahwa
total tangkapan tikus sawah pada 16 TBS yang dipasang selama 4 musim tanam padi
mencapai 15.991 ekor. Tangkapan tersebut terdiri dari 7.765 ekor dari hasil tangkapan
pada periode MH dan 8.226 ekor dari periode MK .
Tikus yang tertangkap masih dalam keadaan hidup sehingga
dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan lain, misalnya pakan ikan, itik dan
lainnya. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemantauan rutin untuk
pengambilan tangkapan tikus setiap hari, dan harus tetap mempertahankan
kualitas TBS (pagar plastik tidak berlubang). Penempatan tanaman perangkap yang
ditanam 21 hari lebih awal dari umur padi disekitarnya dapat menyulitkan
petani, serta memerlukan modal awal pembuatan TBS. Konsep penggunaan TBS agar
efisien, pengelolaannya harus dilakukan pada skala kelompok tani. Jenis
TBS dengan tanaman perangkap yaitu TBS dengan tanam perangkap tanam awal, tanam
akhir, dan pesemaian.
Rekomendasi penggunaan TBS dengan tanaman perangkap
diprioritaskan untuk diterapkan pada daerah endemik tikus dengan populasi
tinggi terutama pada musim kemarau. Pengelolaan TBS sebaiknya dilakukan secara
kelompok pada suatu hamparan, baik pemeliharaan maupun pembiayaannya. Teknologi
TBS merupakan salah satu komponen teknologi pengendalian tikus yang
pelaksanaannya harus dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lain.
3.4 Pemanfaatan Musuh Alami
Pada ekosistem sawah irigasi, musuh alami tikus sawah jarang
ditemukan, sehingga diperkirakan peran musuh alami dalam regulasi populasi
tikus sawah pada ekosistem sawah irigasi relatif kecil. Musuh alami tikus
diperkirakan banyak terdapat di daerah-daerah sawah yang berbatasan dengan
hutan atau di daerah dengan ekosistem yang tidak terganggu oleh manusia.
Musuh alami jenis pemangsa tikus sawah pada umumnya berasal
dari kelompok burung, mamalia dan reptilia. Pemangsa dari kelompok burung
antara lain Tito alba javanica (burung hantu putih), Bubo
ketupu (burung hantu cokelat) dan Nyctitorac nyctitorac (burung
kowak maling). Pemangsa dari kelompok mamalia yaitu Verricula malaccensis
(musang bulan atau rase), Herpestes javanicus (garangan), Felis catus
(kucing) dan Canis familiaris (anjing). Diantara jenis dari
kelompok reptilia adalah Ptyas koros (ular tikus), Naja naja
(ular kobra), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan Phyton
reticulatus (ular sanca) (Priyambodo, 1995).
Tyto alba javanica ( J.F.Gmelin 1788 )
Pemangsa terbaik tikus sawah adalah burung hantu. Hal
tersebut disebabkan karena burung hantu mempunyai laju fisiologis yang besar
sehingga mampu mengkonsumsi tikus dalam jumlah
banyak. Pemangsa jenis burung juga mempunyai kemampuan mencari mangsanya lebih
baik dibandingkan jenis pemangsa lain. Walaupun demikian, burung hantu
memerlukan habitat yang sesuai dengan habitatnya. Cara yang paling mudah untuk
mengoptimalkan peran predator tikus adalah dengan memberikan lingkungan yang
cocok dan melindungi predator tikus tersebut.
3.5 Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi merupakan pengendalian dengan
penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat membunuh tikus atau dapat menganggu
aktivitas tikus, baik aktivitas untuk makan, minum, mencari pasangan maupun
reproduksi. Secara umum pengendalian dengan cara kimiawi dibedakan menjadi
empat jenis yaitu umpan beracun, bahan fumigasi, bahan kimia repellent dan
bahan kimia antifertilitas.
3.5.1 Rodentisida
Rodentisida atau umpan racun
merupakan teknologi pengendalian yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh
petani untuk membunuh tikus sawah. Rodentisida yang dipasarkan pada umumnya
dalam bentuk siap pakai, atau mencampur sendiri dengan bahan umpan. Rodentisida
digolongkan menjadi racun akut dan antikoagulan. Racun akut dapat membunuh
tikus langsung ditempat setelah makan umpan, sehingga dapat menyebabkan tikus
jera. Sedangkan rodentisida antikoagulan akan menyebabkan tikus mati setelah
lima hari memakan umpan dengan dosis yang cukup sehingga tidak menyebabkan jera
umpan. Namun demikian jenis rodentisida anticoaglan mempunyai efek sekunder
negatif terhadap predator tikus.
Keberhasilan pengumpanan rodentisida
sangat dipengaruhi oleh waktu pengumpanan, jenis umpan dan penempatannya. Waktu
yang tepat untuk pengumpanan adalah ketika dilapangan sudah tidak ada lagi
pakan padi (bera) sampai padi vegetatif. Pada periode padi generatif tikus
sawah lebih sulit diumpan dengan rodentisida, karena lebih tertarik dengan
tanaman padi yang ada. Penggunaan rodentisida untuk pengendalian tikus
sebaiknya merupakan alternatif terakhir, karena sifatnya yang dapat
mencemari lingkungan. Teknik aplikasinya harus tepat dan sesuai dosis anjuran
agar mendapatkan hasil yang maksimal.
3.5.2 Fumigasi
Bahan fumigan yang sering digunakan oleh petani sampai saat
ini adalah asap belerang dan karbit. Penggunaan emposan asap belerang merupakan
cara pengendalian tikus yang efektif, mudah diaplikasikan dengan biaya murah.
Teknik tersebut merupakan teknik untuk membunuh tikus sawah di dalam sarang dan
dapat dilakukan kapan saja atau pada periode bera dan saat pertanaman padi.
Namun demikian fumigasi dengan cara pengemposan yang paling efektif adalah
dilakukan pada saat padi generatif, yaitu ketika tikus sawah sedang beranak di
dalam sarang. Teknik tersebut dapat membunuh anak tikus bersama induknya di
dalam sarang (Sudarmaji, 2004).
Emposan asap belerang.
Cara fumigasi yang tepat adalah memasukkan cukup asap
belerang kedalam lubang sarang tikus, kemudian semua lubang keluar yang ada
ditutup dan tidak perlu dilakukan penggalian. Penggalian sarang setelah
fumigasi merupakan kegiatan yang tidak efisien karena memerlukan banyak waktu
dan tenaga hanya untuk membuktikan bahwa tikus yang difumigasi benar-benar
mati. Jenis fumigasi lainnya yang dapat dipakai adalah “tiram”, suatu cara
fumigasi menggunakan teknik asap kembang api dengan bahan aktif belerang. Tiram
dimasukkan ke dalam sarang tikus dan dinyalakan sumbunya, maka asap belerang
akan keluar dan dapat membunuh tikus. Selain itu juga dapat digunakan fumigan
untuk hama gudang seperti Phostoxin, Detia dan lainnya.
3.5.3 Repellent
Repellent adalah bahan untuk menolak atau membuat tikus
tidak nyaman berada di daerah yang dikendalikan. Penggunaan repellent di
lapangan untuk mencegah/mengusir tikus sawah masih jarang digunakan, karena
hanya bersifat mengusir dan tidak membunuh tikus. Beberapa bahan alami nabati
seperti akar wangi diduga mempunyai efek repellent terhadap tikus, namun masih
diperlukan penelitian yang lebih intensif.
3.5.4 Antifertilitas
Cara pemandulan tikus baik untuk tikus jantan maupun tikus
betina dapat digunakan untuk pengendalian tikus. Cara tersebut mempunyai
prospek baik karena tikus sawah mempunyai perkembangbiakan yang cepat dan
jumlah anak yang banyak dalam setiap kelahiran. Beberapa jenis bahan kimia yang
digunakan untuk pemandulan manusia juga dapat digunakan untuk memandulkan tikus
sawah.
Kesulitan dalam penggunaan bahan antifertilitas dilapangan
pada umumnya menyangkut dosis umpan yang dikonsumsi tikus sawah kurang cukup
(subdosis) sehingga tikus yang mengkonsumsi bahan antifertilitas tersebut
tidak efektif menjadi mandul. Ekstrak minyak biji jarak (Richinus communis)
telah diteliti juga dapat digunakan sebagai rodentisida dan antifertilitas
nabati pada dosis sublethal. Perlakuan dosis sublethal secara oral dapat
menurunkan produksi sperma tikus jantan hingga 90% dan kemandulan pada tikus
betina.
4. Strategi Pengendalian Tikus
Pengendalian tikus sawah dilakukan
dengan pendekatan yang sangat berbeda dengan pengendalian untuk hama padi
lainnya. Pengendalian hama tikus dilakukan dengan pendekatan pengendalian hama
tikus terpadu (PHTT) yaitu pengendalian tikus yang di dasarkan pada pemahaman
ekologi tikus, dilakukan secara dini, intensif dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Pelaksanaan
pengendalian dilakukan oleh petani secara bersama-sama (berkelompok) dan
terkoordinir dengan cakupan sasaran pengendalian dalam skala luas.
Strategi pengendalian tikus sawah terutama harus dilakukan
pada saat populasi tikus masih rendah dan mudah pelaksanaannya yaitu pada
periode awal tanam, dengan sasaran menurunkan populasi tikus betina dewasa
sebelum terjadi perkembangbiakan. Membunuh satu ekor tikus betina dewasa pada
awal tanam, setara dengan membunuh 80 ekor tikus setelah terjadi
perkembangbiakan pada saat setelah panen (Sudarmaji dkk., 2005).
Penurunan tingkat populasi pada awal tanam (dini) adalah
sangat penting karena menentukan keberhasilan pengendalian tikus sepanjang
musim tanam. Disamping itu pengendalian tikus yang dilakukan ketika tanaman
padi telah tinggi (canopinya telah menutup) akan lebih sulit, karena sebagian
tikus sudah berada di tengah pertanaman padi. Pada periode bera, tikus berada
pada berbagai habitat disekitar persawahan seperti tanggul irigasi, pematang
besar, jalan sawah, anak sungai, pinggiran desa dan lain-lain. Oleh karena itu,
tindakan pengendalian dini ditujukan pada habitat-habitat tikus tersebut.
Pengendalian pada saat bera dan persiapan pengolahan tanah,
dapat dilakukan dengan cara gropyokan dan tindakan sanitasi habitat tikus yaitu
di tepi kampung, tanggul-tanggul irigasi, pematang besar, jalan sawah, pinggiran
anak sungai dan lainnya. Sebaiknya dilakukan usaha mengubah habitat tikus yang
ada di lingkungan persawahan menjadi habitat yang tidak disukai tikus sebagai
tempat berlindung dan bersarang. Usaha tersebut merupakan salah satu cara
pengendalian tikus yang efektif untuk jangka panjang. Gropyokan dapat dilakukan
dengan cara empos-gali, memompa air ke dalam sarang tikus, dan cara-cara lain.
Pada periode pesemaian, gropyokan massal (berburu tikus)
masih harus terus dilakukan. Pemagaran persemaian dengan plastik dan pemasangan
bubu perangkap perlu dilakukan. Hal tersebut selain dapat mengamankan pesemaian
juga dapat menurunkan populasi tikus di daerah tersebut. Pesemaian sebaiknya
dibuat sebagai pesemaian kelompok sehingga akan lebih memudahkan pengelolaan.
Menyiapkan dan memasang TBS dengan tanaman perangkap harus
sudah direncanakan dan dipersiapkan sejak awal, khususnya penanaman tanaman
perangkap. Ketika petani pada hamparan tersebut menyemai padi, tanaman
perangkap harus sudah ditanam dan sekaligus memasang pagar plastik serta
perangkap bubunya. Persemaian untuk tanaman perangkap harus dipersiapkan lebih
awal yaitu tiga minggu dari waktu semai petani di hamparan tersebut.
Sistem perangkap bubu tersebut akan efektif menarik dan memerangkap tikus dari
periode pengolahan tanah hingga panen. Tangkapan tikus pada perangkap bubu akan
tinggi pada waktu TBS mulai dipasang dan di sekitarnya masih bera/pengolahan
tanah serta pada saat tanaman perangkap telah bunting/malai dimana tanaman
sekitarnya masih stadium vegetatif.
Pengendalian tikus harus mencakup target areal yang luas
dengan memperhatikan habitat perlindungan tikus (refuge habitats) pada
saat bera di luar daerah persawahan. Habitat tersebut merupakan sumber
infestasi tikus sawah pada saat ada pertanaman padi. Sebaiknya dilakukan
pemasangan LTBS di daerah tepi kampung untuk menangkap tikus yang akan kembali
ke sawah. Mengatur waktu tanam dan panen serempak, mempertahankan adanya
periode bera, sanitasi ratun padi dan gulma, merupakan usaha yang perlu dilakukan
oleh petani untuk menghambat laju populasi tikus sawah. Pengendalian tikus pada
stadium padi generatif sebaiknya ditujukan pada habitat tanggul irigasi yang
merupakan habitat utama tempat tikus berkembangbiak. Cara fumigasi merupakan
metode pengendalian yang efektif pada periode perkembangbiakan tikus karena
dapat membunuh induk dan anak-anaknya di dalam sarang.
Kunci sukses pengendalian hama tikus terpadu adalah adanya
partisipasi semua petani dan dilakukan secara berkelanjutan serta terkoordinir
dengan baik. Pengendalian tikus yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri tidak
akan mendapatkan hasil yang efektif. Hal tersebut disebabkan oleh mobilitas
tikus sawah yang tinggi, sehingga daerah yang telah dikendalikan akan segera
terisi oleh tikus yang berasal dari daerah sekitarnya (ekologi kompensasi).
4.1 Strategi Pengendalian Tikus dengan Burung Hantu ( Tyto alba ).
Pengendalian
tikus secara biologis dengan menggunakan burung hantu Tyto alba telah dilakukan sejak tahun 1970 ( Medway and Young ,
1970 ; Wood , 1985 ; Duckett , 1976 ; Lenton , 1978 , 1980 a , 1980b . 1980c. 1983
, 1984 ).
Burung
spesies Tyto alba merupakan burung predator tikus
yang keluar pada malam hari (
burung nokturnal ). Keluar dari
sarangnya mulai matahari terbenam (Waktu Magrib) dan kembali masuk ke sarangnya
pada dini hari ( Waktu Subuh ) , beraktifitas di malam hari. Keistimewaan
dari burung Tyto alba ini adalah burung yang familier, makanannya spesifik tikus sawah, tikus
rumah dan cerurut. Kemampuan
berburu sangat tinggi, tangkas, cekatan
dalam mengejar tikus. Mengkonsumsi tikus 2-3 ekor per malam dan berburu tikus
melebihi dari jumlah yang dimakan. Daya
penglihatan pada malam hari sangat tajam karena memiliki sinar inframerah,
mampu mendengar cicitan tikus pada jarak 500 meter. Kejelian
mengincar mangsa dan ketepatan menyambar tikus sangat tinggi karena Tyto alba memiliki bulu halus berlapis lilin
sehingga tidak bersuara jika terbang. Kawasan
berburu teratur, tidak akan meninggalkan kawasannya selama tidak terusik. Daya jelajah mampu mencapai 12 km dan sangat setia dengan kandang dan lingkungannya. Perkembangbiakannya
sangat cepat, jumlah telur 5-10 butir, lama
pengeraman 21-28 hari, menetasnya berselang dan rata rata bisa menetas 80 % .
Periode bertelur 2 kali setahun. Anakannya akan memisahkan diri dari induknya setelah anakan berumur
4-6 bulan. Sepasang Tyto alba bisa mengamankan 2-5
Ha sawah. ( Pujoarto ,
2012 ).
Sosialisasi kepada para petani untuk membuat Rubuha ( nest box ) diarea persawahan.
Strategi pengendalian
tikus dengan burung hantu Tyto alba
diterapkan oleh Kelompok Tani Mintorogo, Kelompok Tani Tulodho Makaryo, dan
sebagian Kelompok Tani Margo Kamulyan, yang berada di wilayah Desa Tlogoweru
Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Provinsi Jawa Tengah .
Kelompok tani-kelompok tani tersebut telah berhasil mengendalikan hama tikus
dengan Agensia hayati burung hantu spesies Tyto alba , sejak bulan Mei 2011 hingga sekarang.
Strategi pengendalian tikus yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlogoweru Kecamatan Guntur Kabupaten Demak
Provinsi Jawa Tengah, diantaranya ; (1) Membentuk komonitas peduli Tyto alba,
dan adanya lembaga swadaya komonitas pecinta burung predator tikus Tyto alba. (2) Memberikan sosialisasi ke masyarakat guna
melestarikan Tyto alba. (3) Peran serta pemerintah , lembaga sosial desa,
masyarakat, kelompok tani ( petani ) selaku pemangku kepentingan. (4) Membuat
peraturan kearifan lokal / peraturan desa yang di buat oleh masyarakat setempat
yang berisi mengenai larangan untuk tidak mengganggu menggetapel dan atau
menembak burung kawan petani Tyto alba.
(5) Menghimbau kepada para petani untuk membuat nest box / rubuha ( rumah
burung hantu ) di area persawahan. (6) menghimbau kepada para petani untuk
melestarikan Tyto alba. (7) Membuat papan larangan untuk tidak menembak
dan mengganggu burung Tyto alba. (8) Introduksi anakan Tyto alba dilakukan bila di suatu daerah tidak ditemukan burung Tyto alba. (
Pujoarto, 2012).
Sosialisasi kepada masyarakat guna melestarikan burung predator tikus ( Tito alba ).
Nest box / Rubuha ( rumah burung hantu ) yang telah dimodifikasi ( Pujoarto , 2012 ).